Pernah bertemu kembali dengan teman lama yang sekarang telah jauh berubah dari orang yang pernah kita kenal?
Ada satu faktor penting yang perlu kita perhatikan dalam proses perubahan seseorang atau suatu kelompok tertentu. Ialah konsep yang telah lama masyhur di dunia pendidikan : “Self Fulfilling Prophecy”. Konsep yang perlu dikuasai untuk pengajar pada muridnya, psikolog pada kliennya, orangtua pada anaknya, direktur pada bawahannya, dokter pada pasiennya, pemimpin pada orang-orang yang ia pimpin, dan interaksi-interaksi serupa.
Saya dulu bersekolah di SMP swasta berasrama yang baru membuka angkatan pertamanya, di mana kami masih menjadi anak tunggal, guru-guru fresh graduate, lapangan sekolah bertanah kering—yang jika angin datang, kami harus buru-buru mencari tameng agar tidak simbah oleh debu—lingkungan sekolah dan asrama masih sangat sepi, sebab kamilah angkatan pertama, dan sistem pendidikan yang masih sangat fleksibel. Tetapi fase itulah yang amat sangat manis ketika saya kenang, di mana guru-guru muda saat itu menumbuhkan sikap jujur pada anak muridnya. Kejujuran adalah segalanya, pernah ada guru yang salah memberi nilai (poinnya berlebih), kemudian salah satu anak muridnya datang ke meja guru lantas mengadu “Pak, nilai saya kelebihan”. Sejak peristiwa itu, puisi-puisi tentang berharganya nilai kejujuran dipajang di mading-mading sekolah dan ungkapan-ungkapan bangga atas sikap jujur murid-murid menjadi pembicaraan hangat.
Guru-guru amat percaya bahwa murid-muridnya akan memegang teguh kejujuran, bahkan jikapun ujian tidak diawasi, tidak ada yang berani bertanya atau memberitahu jawaban, atau jika ujian dibawa ke asrama dan peraturannya tidak boleh membuka catatan pelajaran, maka tidak akan ada yang berani membuka buku catatan sama sekali. Bagi kami, mencontek adalah aib dan menodai kepercayaan guru-guru.
Menarik jika direnungi, ternyata saya baru pahami konsep yang diterapkan guru-guru kami saat itu, adalah ekspektasi positif bahwa kami akan melakukan sesuatu yang sesuai dengan label yang guru kami berikan. Yaitu penerapan sikap jujur. Sebab mereka telah yakin bahwa kami akan berlaku jujur, maka sikap mereka pada anak didiknya, respon mereka atas tingkah kami selalu menunjukkan bahwa mereka percaya kami akan memegang teguh kejujuran. Upaya murid-murid untuk mempertahankan sikap jujur merupakan ‘fulfill‘ dari harapan para guru.
Semoga konsep ini menjadi cukup jelas. Penting jadinya keyakinan positif kita pada seseorang atas cita-citanya. Sebab jika kita telah memiliki harapan positif bahwa orang tersebut mampu melakukan sesuatu dengan baik atau sesuai harapan kita, maka seluruh indra kita akan mensinergikan gerak untuk mensukseskan apa yang telah kita yakini, untuk merespon tindakan orang tersebut sesuai dengan harapan kita. Besar kemungkinan orang tersebut membalas harapan yang (lebih sering) tidak terkatakan itu sesuai dengan ekspektasi yang diberi, sikapnya, kebiasaanya, cara-caranya jadi berubah mengikuti ekspektasi kita.
Jika guru bertemu murid yang—semua guru telah angkat tangan atas tingkah dan capaian akademiknya yang memprihatinkan, maka kita akan datang sebagai guru yang percaya bahwa tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah murid yang belum bertemu guru dan metode yang tepat. Jika konselor bertemu dengan klien yang telah amat putus asa atas hidupnya, maka kita akan datang sebagai teman cerita yang yakin bahwa selalu ada harapan untuk tiap jiwa yang punya luka menganga. Jika semua orang menuding negeri ini telah sukar disembuhkan sebab carut-marutnya keadaan, maka kita adalah penambah jumlah barisan orang-orang yang selalu percaya bahwa tetap ada orang yang peduli memikirkan perbaikan dan bergerak untuk perubahan-perubahan.
Bahkan Allah memerintahkan untuk kita selalu menaruh harap pada-Nya. Tiap amal yang terkerja, tiada daya tanpa pertolongan-Nya. Tiap ketertampakan kebaikan kita adalah kebaikan-Nya menutupi aib-aib kita. Tiap dosa yang makin bertambah tiap harinya, keperluan kita adalah menaruh harapan yang penuh bahwa Allah akan mengampuninya. Jika telah yakin dosa kita teramat banyak dan nyatanya ampunan-Nya jauh lebih melimpah, maka segala respon kita, sikap kita atas apa yang Allah beri akan mengarahkan kita pada keterampunan dosa dan keluasan rahmat-Nya. Karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya terhadap-Nya.
Harapan. Menjadi harta berharga di setiap aktivitas kita. Dalam hidup yang erat kaitannya dengan mengajak orang lain pada kebaikan, perlu kita yakin bahwa selalu ada harapan untuk seburuk apapun perilaku berubah menjadi sebaik-baik pekerti. Sebagaimana Umar bin Khattab ra atau Sayyid Quthb. Mereka berubah haluan secara ekstrem sebab ada orang yang masih yakin bahwa kelak mereka akan menjadi orang baik.
Konsep inilah yang menjelaskan pertanyaan intro di awal tulisan. Mungkin saja orang yang dulu kita kenal tidak begitu baik, kini sedang berada di titik yang jauh melampaui kita, terkarena ia bertemu dengan orang yang menaruh harapan positif atas masa depannya, dan sikap orang itu mengarahkannya pada perubahan-perubahan ke arah lebih baik atau ia sendiri yang mampu merespon dengan baik setiap situasi yang ia hadapi.
Wallahu’alam bishawab
Fatahillah, 24/11/15
Kritik, saran, & kontribusi cerita : hanaij15@gmail.com
By Hana Izzatul Jannah (Alumni. Angkatan 1)
Leave a Comment